Selasa, 29 September 2009

PENANGANAN KEMAMPUAN TERORISME MELALUI PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENANGANAN TERORISME


Paska perang dingin yang berakhir dengan jatuhnya kekuatan blok Timur yang berakibat tumbuhnya kekuatan blok barat dan memunculkan figur AS sebagai kekuatan  Super Power yang mendominasi pengambilan keputusan Internasional melalui keberadaannya sebagai “Anggota Dewan Keamanan PBB”.  Konidisi  seperti ini dirasakan kurang adil oleh sebagian / kelompok elemen masyarakat Internasional tertentu yang bersebrangan dengan kepentingannya. Oleh karena itu kelompok tersebut berusaha mengimbangi dan memberikan perlawananan – perlawananan secara non konfensional yaitu dengan melancarkan aksi-aksi terorisme terhadap aktifitas-aktifitas kepenting-an AS dan Sekutunya di luar negeri. Dengan melancarkan aksi-aksi terorisme tersebut selain untuk menyerang aktivitas AS / Barat di dunia Internasional juga untuk memberikan peringatan kepada AS / Barat bahwa masih ada Kekuatan Imbangan yang perlu dipertimbangan AS / Barat setelah jatuhnya Blok Timur, sehingga tidak semena-mena dalam mempengaruhi PBB dalam pengambilan Keputusan Dunia yang cenderung merugikan pihak mereka.

Sejumlah aksi-aksi terrorisme tersebut  tidak hanya dilancarkan di Negara-negara Eropa namun juga di negara kawasan, bahkan telah dilancarkan di Indonesia yaitu di Bali dan beberapa tempat di Indonesia yang menimbulkan kerusakan beberapa fasilitas umum dan korban masyarakat tidak berdosa, sekaligus  secara  ekonomis  memberikan  kesan  bahwa  di  Indonesia  tidak aman dikunjungi wisatawan manca Negara. Gerakan terorisme sudah menjadi global dengan jaringan yang bersifat internasional. Mereka mempunyai akses terhadap persenjataan dengan tenaga perusak dan pembunuh masal seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Keberadaan terorisme di Indonesia tidak terelakkan lagi ketika bom  berkekuatan  besar memporak porandakan pusat keramaian di kawasan Kuta Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Sekaligus peristiwa tersebut suka atau tidak suka seperti mengasirmasi tudingan masyarakat Internasional sebelumnya yang menyebut Indonesia sebagai salah satu sarang terorisme yang memiliki jaringan Internasional. Untuk menghadapi dampak aksi-aksi terorisme tersebut  maka POLRI telah membentuk DEN -88 ANTI TEROR tetapi dalam pelaksanaannya dirasakan kurang efektif karena penyelesaian kasus cenderung secara parsial. Mencermati perkembangan itu maka hendaknya kita melihat pengalaman-pengalaman Negara-negara lain dalam menangkal aksi-aksi terorisme yaitu di AS (Home Land Security) maupun dikawasan Asia Tengagara ( Internal Security Act).

Pemerintah RI dalam upaya mencegah terjadinya tindakan dan kegiatan teroris, telah mengeluarkan UU RI Nomor 15 tahun 2003 tanggal 4 April 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai pengganti Perpu  Nomor 1 tahun 2002. Selain itu, Pemerintah RI telah berupaya memberdayakan aparat intelijen maupun aparat instansi lainnya guna mengantisipasi tindakan terorisme, namun upaya ini dirasakan belum optimal mengingat terorisme memiliki mobilitas yang tinggi, bersembunyi dan berbaur dengan masyarakat di pemukiman.        

Dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman negara-negara lain dalam menangkal aksi-aksi terorisme maka penangkalan terhadap aksi-aksi terorisme akan lebih efektif apabila dengan mengerahkan semua komponen bangsa yang secara representatif diwakilkan keanggotaannya didalam suatu wadah / organisasi “ Badan Koordinasi Penanganan Terorisme” ( BKPT)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar